HALSEL – Sikap di luar akal sehat telah ditunjukkan ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kayoa Selatan, Muksin M. Nur, lantaran dua kali menyoblos saat hari pencoblosan
Muksin nekad melakukan pencoblosan atas nama anaknya yang diketahui mengalami Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) secara Parmanen / hilang ingatan total, ” masa orang gila yang hilang ingatan secara parmanen bisa nyoblos, ” ujar seorang saksi partai yang enggan namanya dipublis.
Tindakan Muksin terjadi saat hari pencoblosan di TPS tiga Desa orimakurunga, Kayoa Selatan. Pencoblosan yang dilakukan ketua PPK Kayoa Selatan sempat dihalangi Sumitro Lut, seorang saksi dari partai Demokrat. Sempat terjadi adu mulut antara saksi dengan Muksin. Namun Muksin tetap ngotot melakukan pencoblosan menggunakan undangan anaknya yang sejak lama mengalami gangguan jiwa secara parmanen.
Muksin sendiri melakukan pencoblosan dengan alasan regulasi membolehkan orang lain melakukan pencoblosan jika orang/nama yang diundang berhalangan datangi TPS.
Sementara itu, Komisioner KPU RI menegaskan ODGJ akan ikut menyalurkan hak pilihnya pada Pemilihan Umum 2024. Dengan kriterianya yakni, pemilih tidak mengalami gangguan jiwa permanen dan tidak ada surat keterangan tidak bisa memilih, tegas Idham Holik dalam siaran persnya.
Kemudian, Idham menegaskan, dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) juga terdapat pasal yang menyinggung pemilih ODGJ. Syarat sebagai pemilih, sebagaimana termaktub Pasal 4 Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022, harus terpenuhi oleh pemilih yang menderita gangguan jiwa tersebut,” ujar Idham.
Meskipun KPU RI memperbolehkan pemilih kategori disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), memiliki hak suara pada pemungutan suara di 2024.
Namun, saat hari pencoblosan para ODGJ ini wajib memiliki surat rekomendasi dokter kejiwaan. Tentu saat pemungutan suara, petugas atau keluarganya, ODGJ itu didampingi oleh KPPS.
“Pemilih yang menderita gangguan jiwa, dapat memperoleh hak memilih. Sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen,” kata Idham.
Surat keterangan tersebut, Idham menjelaskan, dikeluarkan dari pihak rumah rumah sakit atau dokter yang mengurus ODGJ. Dijelaskan bahwa yang bersangkutan tidak mampu (atau bisa) memberikan suara di TPS.
“ODGJ bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024. Namun, ODGJ perlu pengawasan dari tenaga kesehatan atau ahli yang menjadi pengampunya,” kata Idham.
Selain itu, kata dia, pemenuhan hak ODGJ dalam pemilu juga tertuang dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Tepatnya, pada amar putusan MK Nomor 135/PUU-XXIII/2015. Selama pemilih tidak mengalami gangguan jiwa permanen, Idham menjelaskan, ODGJ itu punya hak nyoblos di TPS. Kemudian, pemilih ODGJ tidak ada surat keterangan dia tidak bisa memilih.
“Dalam Amar Putusan MK Nomor 135/PUU-XXIII/2015. MK menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Idham.
Idham pun membeberkan, bunyi dari perubahaan UU tersebut. Yakni, tentang kriteria pemilih ODGJ yang diperkenankan menyalurkan suara pada Pemilu 2024.
“Sepanjang frasa ‘terganggu jiwa/ingatannya’ tidak dimaknai sebagai ‘mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen. Menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum,” ucap Idham (*)